Penjelasan
Detail:
1- Makna
Nuzûl:
Derivasi
kata nuzûl bermakna turun, sebagaimana hal ini disebutkan dalam Mufradat,
Misbah dan Aqrab. Raghib dalam memaknai nuzul berkata, “al-Nuzul fii al-ashl:
huwa inhitat min ‘ulu’ (Nuzul aslinya bermakna turunnya sesuatu dari
atas). Terkait masalah hujan disebutkan, “Kamukah yang menurunkannya dari
awan ataukah Kami yang menurunkan?"(Qs. Al-Waqi’ah [56]:69)[1] dan
juga “Isa putra Maryam berdoa, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami suatu
hidangan dari langit." (Qs. Al-Maidah [5]:114).[2]Demikian
juga, "Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan
neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil)" (Qs.
Al-Hadid [57]:25)[3] "Dia
menurunkan untuk kamu delapan ekor binatang ternak yang berpasangan." (Qs.
Al-Zumar [39]:6)[4] “Hai
anak cucu Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutupi auratmu” (Qs. Al-A’raf [7]:26)[5]
Kita tahu
bahwa besi tertimbun pada bebatuan, nikmat-nikmat delapan ekor binatang di
bumi, pakaian disediakan dari bumi dan rasul berada pada alam kita. Lalu
mengapa digunakan redaksi “anzal” pada ayat-ayat ini? Nampaknya jawaban dari
semua ini terletak pada ayat “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan di sisi
Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang
tertentu.” (Qs. Al-Hijr [15]:21)[6]
Pada ayat
ini disebutkan bahwa segala sesuatu disebut sebagai anzal (diturunkan) dan
lantaran seluruh pengaturan berada di tangan Tuhan dan penyebutan anzal
(diturunkan) ini pada segala sesuatu adalah benar adanya. Demikian juga dapat
dikatakan: atom-atom besi yang terpendam di bumi dan gas-gas hawa dan sebagainya
dari langit turun ke bumi. Dan dapat dikatakan: nutfah seluruh hewan turun dari
udara sebagaimana seluruh mikroba atas daging-daging, seluruh keju turun dan
bahan fermentasi yang turun kepada anggur.
“nnazl”
(dengan dhamma nun) artinya apa yang telah tersedia bagi tamu sehingga turun
kepadanya. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam kamus, “hal itu juga disebut
sebagai kediaman (manzil). Raghib berkata, “al-nazl” “mâ yu’iddu linnâzil min
al-zâd (apa yang tersedia bagi orang yang tinggal sebagai bekal). "Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus
menjadi kediaman.” (Qs. Al-Kahf [18]:107)[7]
"Adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka
dia mendapat hidangan air yang mendidih." (Qs. Al-Waqiah [56]:92-94)[8] “Sesungguhnya
Kami telah menyediakan neraka Jahanam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.”
(Qs. Al-Kahf [18]:102).[9]
Na-za-la
bermakna sekali turun. “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu pada
waktu yang lain.” (Qs. Al-Najm [53]:13)[10]
Ma-n-zi-l
(dengan formula maf’ul) adalah mashdar mimi dan merupakan kata benda objek
(isim ma’ful) "Dan berdoalah, “Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat
yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat." (Qs.
Al-Mukminun [23]:29)[11] “(Ingatlah)
ketika kamu mengatakan kepada mukminin, “Apakah tidak cukup bagimu, Allah
membantumu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?” (Qs. Ali
Imran [3]:124)[12]
adalah isim maf’ul (kata benda objek).
Ta-na-zz-ul
dalam Shihah, Qamus dan Aqrab disebutkan sebagai nuzul dengan jarak dan rentang
waktu. “Dan Al-Qur’an itu bukanlah dibawa turun oleh setan-setan." (Qs.
Al-Syua'ra [26]:201)[13] "Allah-lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah
senantiasa turun di antara keduanya.” (Qs. Al-Thalaq [65]:12)[14].
Kita memahami bahwa nuzul merupakan sebuah perkara yang berentang dan
berperiode.
Terkait
dengan nuzul-nya al-Qur’an harus dikatakan bahwa pada sebagian ayat disebutkan
“inzâl” dan pada sebagian dinyatakan “tanzil.” Dan dari penggalan teks-teks
bahasa dapat dikatakan bahwa “tanzil” biasanya digunakan untuk sesuatu yang
turun secara perlahan dan berentang. Namun “inzâl” memiliki makna yang lebih
luas dimana turun secara serentak juga termasuk di dalamnya. Perbedaan ini
disebutkan dalam al-Qur’an dimana pada dua ayat belakangan di atas dapat
dijadikan sebagai contoh dalam masalah ini.[15]
2-Tingkatan
dan fase turunnya al-Qur’an
Sebagaimana
segala sesuatu memiliki empat dimensi wujud: wujud lisan, wujud tulisan, wujud
mental dan wujud luaran, wahyu juga demikian adanya memiliki empat dimensi
wujud:
A.
Wujud tulisan al-Qur’an yang tampak dan lahir.
B.
Wujud lisan al-Qur’an adalah bacaan pembaca yang dibaca semenjak para
maksum dan malaikat hingga masyarakat awam.
C.
Wujud mental dan ilmiah al-Qur’an yang terbagi lagi menjadi beberapa bagian:
wujud di lauh mahfuz, wujud di alam perintah (amr) yang kemudian turun sesuai
dengan perintah Ilahi ke dalam hati Rasulullah Saw sebagaimana dalam firman Allah
Swt, “"Ar-Ruh al-Amin (Jibril) telah menurunkannya ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan." (Qs. Al-Syuara [26]:169)[16] Atau
makna-makna transendental dan metafisik yang diraup tatkala qari membaca
al-Qur’an. Seperti firman Tuhan, “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya
(Al-Qur’an ini) suatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab
dengan tanganmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar
ragulah orang-orang yang ingin mengingkari(mu)." (Qs. Al-Ankabut [29]:48)[17] .
D.
Wujud luaran secara global dimana hakikat dan realitas al-Qur’an turun dari
sumber keagungan Tuhan Esa, sebagaimana firmannya, “Alif Lâm Râ, (inilah) suatu
kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci
yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu."
(Qs. Al-Hud [11]:1)[18]
Wujud
luaran al-Qur’an ini adalah yang berbentuk indah dan menjadi kerabat dekat
orang-orang mukmin di kubur dan di akhirat akan menjelma dan bertutur-kata
serta memberikan syafaat.
Banu
Isfahani dalam menyanggah anggapan bahwa hal ini mustahil menuturkan, “Jangan
kalian mengira bahwa riwayat yang mengisahkan syafaat yang diberikan al-Qur’an
dan sebagainya merupakan sebuah pepatah. Riwayat tersebut harus ditakwil dan
dimaknai pada batinnya. Karena al-Qur’an pada setiap tingkatan eksistensi
sedemikian ia menjelma dengan jelas sehingga alam-alam wujud berderet secara
vertikal. Dan setiap tingkatan rendah merupakan simbol dan penampakan dari
tingkatan tingginya. Dan pancarannya menjelma dan memanifestasi di dunia aktual
tempat kita berpijak yang merupakan tingkatan terendah dari tingkatan-tingkatan
alam eksisten. Dunia tempat kita berpijak merupakan dunia majaz (figuratif,
non-hakiki) dan dunia lahir. Dan seluruh eksisten di dunia ini tidak lain
merupakan simbol dan penampakan alam atas.
Di atas
alam ini terdapat sebuah alam yang berada dalam lintasan menanjak kita manusia.
Alam tersebut adalah alam barzakh yang merupakan perantara dan media antara
alam dunia dan alam kiamat. Alam barzakh merupakan alam form (shurat) dan alam
makna. Dan di atasnya terkait dengan manusia merupakan alam kiamat yang
merupakan alam keseluruhan, alam hakikat, alam kehidupan dan di situlah batasan
dan akhir perjalanan manusia.
Salah satu
nama Kiamat adalah al-Haqqah. Al-Haqqa adalah hakikat, realitas faktual dan
hari dimana segala batin dan rahasia terkuak. Yauma tublâ al-sarâir. Kiamat
adalah hari dimana segala yang batin akan tampak telanjang dan lahir. Dan juga
merupakan alam kehidupan (hayat). “Dan tiadalah kehidupan dunia ini
melainkan senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah
yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-Ankabut [29]:64).[19] Karena
itu, menjadi jelas bahwa riwayat ini tidak bermakna mustahil, al-Qur’an di
kubur dan alam barzakh yang merupakan alam form (shurat) dan alam makna akan
berwajah indah dan menjadi kerabat pembacanya. Juga para hari Kiamat yang
merupakan alam hakikat, wujud luaran dan realitas al-Qur’an yang turun dari
alam hakikat dan di alam ini berbentuk huruf dan kalimat, bertutur kata
dan memberikan syafaat. Dan menghinakan orang-orang yang menghinakannya. Dan
karena alam kiamat merupakan alam keseluruhan dan alam hakikat segala yang
terhitung sebagai aksiden-aksiden di dunia ini akan tampak dan lahir dalam
bentuk substansi (jauhar). Misalnya pada alam perbuatan dan amalan manusia
tidak lain berbentuk aksiden-aksiden, namun di alam barzakh ia akan tampak
dalam bentuk yang sesuai (dengan kondisi alam barzakh) dan pada hari kiamat nyata
dalam bentuk substansi. Dan efek-efek substansial akan muncul dari perbuatan
tersebut. Yang menjadi dalil dan bukti dari matlab ini adalah ayat-ayat dan
riwayat-riwayat dimana secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia di kubur akan mengambil bentuk dan form, apabila
perbuatan itu merupakan perbuatan baik maka ia akan nampak dalam bentuk indah.
Dan apabila perbuatan tersebut adalah perbuatan buruk maka ia akan lahir dalam
bentuk buruk-rupa yang akan mengganggu pelaku perbuatan tersebut hingga hari
Kiamat. Demikian juga terdapat dalil-dalil rasional yang menegaskan apa yang
diwartakan oleh para nabi dan imam tentang terjadinya peristiwa ini.[20]
Karena itu,
al-Qur’an memiliki realitas dan hakikat yang merupakan wujud luaran dan global
al-Qur’an. Jenis wujud ini tanpa kata-kata, kalimat, ayat, dan huruf. Dan
kemudian al-Qur’an mencapai tingkatan detil dan rincinya, memiiliki
lafaz-lafaz, batasan dan bentuk. Tingkatan rinci dan detilnya terdapat dua
jenis: Jenisnya selembaran yang terjadi pada malam lailatul Qadar dan jenis
lainnya secara berperiode selama 23 tahun risalah Nabi Saw.
Terdapat
dua tingkatan dalam menjelaskan perkara-perkara yang berdasarkan ketentuan
Ilahi: Pertama, hukum-hukum (ahkam). Kedua, rincian. Harus diperhatkan bahwa
tingkatan muhkam keluar menuju tingkatan rincinan pada malam Qadar. "Pada
malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Penurunan Al-Qur’an itu)
sebagai perintah dari sisi Kami." (Qs. Dukhan [44]:4-5) [21]
Salah satu
perkara ini adalah al-Qur’an yang keluar dari tingkatan ahkam dan turun pada
malam Qadar dan dalam jangkauan pemahaman manusia. Artinya al-Qur’an turun dua
kali dari tingkatan ahkam menuju tingkatan rincian. Sekali waktu dalam bentuk
selembaran pada malam Qadar. Dan kali lainnya turun dalam bentuk berperiode
selama 23 tahun pada pelbagai peristiwa dan kejadian. Kemudian turun secara
rinci dengan lafaz-lafaznya lewat jalan wahyu kepada Nabi Saw. Pada tingkatan
ahkam[22] adalah
tingkatan global dan buram, tidak berbentuk kalimat, huruf dan ayat. Tingkatan
ini seperti pena yang penuh dengan tinta dan dawat. Namun tingkatan detil dan
rincinya, pena yang penuh tinta tersebut tergoreskan lafaz-lafaz dan kalimat.
Pada malam Qadar, tadinya berbentuk ahkam, simpel, dan tunggal kini terpisah
dari satu dengan yang lain dan turun dalam format batasan, bentuk-bentuk dan
pelbagai karakter.[23]
Dari apa
yang diutarakan di atas menjadi jelas bahwa tingkatan nuzul-nya al-Quran
adalah: tingkatan ahkam, tingkatan rinci secara serentak. Dan tingkatan rinci
secara periodik dan perlahan. Namun sebagian mufassir (penafsir) menjelaskan
sesuatu yang lain yang layak untuk disimak. Mereka berkata: Tingkatan pertama,
lafaz-lafaz asli al-Qur’an telah ada dan wujud yang terdiri dari ba-bismillah,
hingga sin (an-Nas) yang disebut sebagai firman Tuhan atau Kalamullah. Kemudian
melalui qalam tertulis di lauh mahfuz dimana Tuhan berfirman, “Bahkan yang
mereka didustakan itu ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh
Mahfûzh.” (Qs. Al-Buruj [85]:21-22).[24]Tingkatan
ketiga berfirman pada cahaya kudus Nabi Saw di alam anwar (cahaya-cahaya),
“"Dan sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu
mengetahui. sesungguhnya (kitab) itu adalah Al-Qur’an yang sangat mulia. Yang
terdapat dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfûzh). Tidak dapat menyentuhnya
(memahaminya) kecuali hamba-hamba yang disucikan." (Qs. Al-Waqiah
[56]:76-79)[25] Kemudian
para malaikat turun pada malam Qadar di Bait al-Makmur atau langit pertama,
kemudian Malaikat Jibril menurunkan al-Qur’an selama masa risalah 23 tahun,
surah demi surah, ayat demi ayat ke dalam kalbu Nabi Saw dimana Tuhan
berfirman, “Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan
semesta alam. Ar-Ruh al-Amin (Jibril) telah menurunkannya. ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan." (Qs. Al-Syuara [42]:192-194)[26],[27]
3- Sebab
Mengapa Al-Qur’an diturunkan secara periodikal
Pada masa
hayat Rasulullah Saw bilamana terjadi sebuah peristiwa atau tatkala kaum
Muslimin berhadapan dengan kesulitan atau untuk mengatasi kesulitan tersebut
atau terkadang jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka maka
sekumpulan ayat atau surah diturunkan terkait dengan peristiwa tersebut.
Pelbagai peristiwa atau kejadian yang berlaku kemudian diturunkan ayat atau
surah ini secara terminologis disebut sebagai sebab-sebab pewahyuan (asbab
al-nuzul atau sya'n al-nuzul) dimana hal ini sangat diperlukan untuk dapat
memahami secara tepat dan akurat kebanyakan ayat-ayat al-Qur'an.
Karena itu,
al-Qur'an diwahyukan dan diturunkan secara periodikal dan perlahan selama 23
tahun pra dan pasca hijrat pada pelbagai peristiwa yang beragam. Pewahyuan dan
penurunan (nuzul) ini terkadang ayat-demi-ayat dan terkadang dalam bentuk satu
surah. Hal ini berlanjut hingga akhir hayat Nabi Saw. Kemudian ayat-ayat dihimpun
dan dalam bentuk satu himpunan kitab al-Qur'an.
Model
pewahyuan dan penurunan (nuzul) ini merupakan salah satu tipologi al-Qur'an dan
membuatnya berbeda dengan kitab-kitab samawi lainnya. Karena Suhuf Ibrahim dan
Alwah Musa diturunkan sekali waktu dan hal ini telah menjadi dalih bagi kaum
Musyrikin untuk mencari cela dan aib dari kedua kitab tersebut. Al-Qur'an
menyebutkan, "Orang-orang yang kafir berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak
diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu
dengannya, dan (untuk itu) Kami membacakannya (kepadamu) setahap demi
setahap." (Qs. Al-Furqan [25]:32)[28]
Di tempat
lain Allah Swt berfirman, "Dan Kami telah memisah-misahkan ayat-ayat
Al-Qur’an itu agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya dengan berangsur-angsur." (Qs. Al-Isra [17]:106) Allamah
Thabathabai dalam menafsirkan ayat ini menuturkan poin-poin berharga dan berkata,
"Ayat terlepas dari konteksnya mengandung seluruh maarif (pengetahuan)
al-Qur'an dan maarif ini dalam bentuk lafaz-lafaz dan redaksi-redaksi di sisi
Tuhan yang tidak dapat dijangkau oleh manusia kecuali diturunkan secara
berangsur-angsur dan periodikal. Karena itu, al-Qur'an harus diturunkan
secara berangsur-angsur yang juga merupakan tipologi alam semesta ini sehingga
manusia dapat dengan mudah berasionisasi dan memahaminya serta menghafalnya.
Dengan demikian, makna ayat (Isra [17]:106) ini dijelaskan pada ayat lainnya,
" Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu
memahami(nya). Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk al-Kitab (Lauh
Mahfûzh) di sisi Kami adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak
mengandung hikmah." (Qs. Zukhruf [43]:3-4)[29] yang
berada pada tataran menjelaskan ayat (Isra [17]:106). Hikmah diturunkannya
al-Qur'an secara berangsur-angsur dan pemisah-misahan al-Qur'an adalah untuk
seiring-sejalannya ilmu dan amal terhadap al-Qur'an dan berseminya secara
sempurna potensi manusia dalam mengekspresikan dan memahaminya.
Dan
pewahyuan dan penurunan al-Qur'an secara berangsur-angsur dan periodikal, dalam
bentuk surah-demi-surah, ayat-demi-ayat, adalah supaya berseminya potensi
manusia dalam memahami dan mengekspresikan maarif asli, akidah, hukum-hukum
cabang berikut pengamalannya. Dan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan bagi
manusia. Dan hal itu adalah pengetahuan al-Qur'an dan pengamalan terhadapnya
dapat dilakukan seiring-sejalan. Supaya tabiat manusia tidak shock dan kaget
dalam menerima maarif dan hukum-hukum. Manusia dapat dengan mudah memahami satu
demi satu maarif al-Qur'an sehingga tidak terpuruk nasibnya sebagaimana yang
menimpa Taurat dimana karena sekali waktu diturunkan membuat kaum Yahudi
membangkang dengan dalih bahwa mereka tidak dapat memahaminya. Sehingga sekiranya
Tuhan menggantungkan gunung di leher mereka, sekali-kali tidak akan pernah
menerima Taurat tersebut.[30]
Demikian
juga yang dapat disimpulkan terkait hikmah mengapa al-Qur'an diturunkan secara
berangsur-angsur supaya Nabi Saw dan kaum Muslimin merasa bahwa Tuhan
senantiasa bersama mereka dan selalu meraup perhatian khusus dari-Nya, serta
supaya hubungan mereka berketerusan dengan Allah Swt. Kesenantiasaan (turunnya)
wahyu dan penurunan ayat-ayat dalam bentuk sedemikian menjadi penyebab
keceriaan kaum Muslimin dan ketetapan hati mereka.[31]
Karena itu
pewahyuan dan penurunan ayat-ayat al-Qur'an pada pelbagai kesempatan dan
peristiwa yang beragam, terhimpun dalam bentuk surah dan terkumpul dalam format
himpunan kitab al-Qur'an. Bilangan ayat-ayat setiap surah merupakan sebuah
perkara taufiqi (sudah dari sananya), semenjak surah yang terpendek (al-Kautsar
3 ayat) hingga yang terpanjang (al-Baqarah 286 ayat) dihimpun berdasarkan
perintah khusus Rasulullah Saw dan senantiasa demikian adanya hingga kini tanpa
adanya intervensi, penambahan dan pengurangan. Tentu dalam hal ini terpendam
rahasia yang berkaitan dengan mukjizat al-Qur'an dan kesesuaian-kesesuaian
ayat-ayat.[32]
Demikian
juga terkait bagaimana terbentuknya ayat-ayat menjadi surah-surah juga harus
dikatakan bahwa "Urutan, runutan, keteraturan, dan bilangan ayat setiap
surah dilakukan atas perintah Rasulullah Saw pada masa hidupnya. Perkara ini
merupakan perkara taufiqi (dari sononya) yang harus diterima taabbudan.[33] Dan
dibacakan dengan urutannya yang ada pada setiap surah. Setiap surah
dimulai dengan Bismillahir Rahmanir Rahim dan ayat-ayat dicatat berdasarkan
urutan pewahyuan dan penurunannya. Hingga waktu lain bismillah lainnya
diturunkan maka bermulalah surah lainnya. Demikianlah aturan natural ayat-ayat.
Terkadang terjadi, Nabi Saw, dengan petunjuk Jibril, memerintahkan penempatan
sebuah ayat berbeda dengan aturan naturalnya misalnya ayat, "Dan takutlah
terhadap suatu hari yang pada waktu itu kamu semua akan dikembalikan kepada
Allah. Kemudian masing-masing diri akan mendapatkan balasan apa yang telah
dikerjakannya secara sempurna, sedangkan mereka tidak akan dianiaya (dirugikan)
sedikit pun." (Qs. Al-Baqarah [2]:281) yang disebutkan sebagai ayat
terakhir yang diturunkan namun Nabi Saw menitahkan ayat ini diletakkan antara
ayat-ayat riba dan hutang pada surah Baqarah ayat 281.
Karena itu,
peletakan ayat-ayat pada surah-surah baik mengikut aturan naturalnya atau
aturan strukturalnya merupakan perkara taufiqi dan hal ini dilakukan atas
perintah khusus Rasulullah Saw sendiri yang harus diikuti. Tidak demikian bahwa
pada setiap tempat dengan berakhirnya satu persoalan maka ayat berakhir. Boleh
jadi berada pada pertengahan matlab ayat berakhir. Dan kelanjutan matlab
tersebut dijumpai pada ayat lainnya. Dengan demikian, panjang-pendeknya setiap
ayat tidak bergantung pada matlab yang terkait dengan ayat tersebut. Perkara
ini semata-mata merupakan perkara taufiqi dimana para pendahulu kita sedikit
berbeda pendapat terkait ukuran ayat-ayat. Atas alasan ini, terkadang Nabi Saw
berhenti pada satu ayat dan tidak melanjutkan bacaan ayat tersebut sehingga
disangka ayat telah berakhir. Dan boleh jadi pada ayat lainnya Nabi Saw
melanjutkan bacaannya tanpa berhenti.[34]
Oleh karena
itu peletakan ayat-ayat pada surah-surah baik dari aturan natural atau aturan strukturalnya
merupakan sebuah perkara taufiqi. Dan dilakukan di bawah pengawasan dan
perintah langsung Nabi Saw yang harus diikuti dan ditaati. Tidak demikian bahwa
pada setiap tempat dengan berakhirnya satu persoalan maka ayat berakhir. Boleh
jadi berada pada pertengahan matlab ayat berakhir. Dan kelanjutan matlab
tersebut dijumpai pada ayat lainnya. Dengan demikian, panjang-pendeknya setiap
ayat tidak bergantung pada matlab yang terkait dengan ayat tersebut.
Adapun
surah-surah yang diturunkan kepada Nabi Saw suatu tempat dan satu himpunan
surah adalah, "al-Dhuhâ, al-Fâtihah, al-Ikhlâsh, al-Kautsar, al-Lahab,
al-Nashr, al-Nas, al-Falaq, al-Murâsalat, al-Mâidah, al-An'âm, al-Taubah, Shaf,
al-'Âdiyat, al-Kâfirun.[35][]
[3]. ﴿ لَقَدْ أَرْسَلْنا رُسُلَنا بِالْبَيِّناتِ وَ
أَنْزَلْنا مَعَهُمُ الْكِتابَ وَ الْميزانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَ
أَنْزَلْنَا الْحَديدَ فيهِ بَأْسٌ شَديدٌ وَ مَنافِعُ لِلنَّاسِ﴾
[7]. ﴿ إِنَّ الَّذينَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ
كانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً ﴾
[12]. ﴿ إِذْ تَقُولُ لِلْمُؤْمِنينَ أَلَنْ يَكْفِيَكُمْ
أَنْ يُمِدَّكُمْ رَبُّكُمْ بِثَلاثَةِ آلافٍ مِنَ الْمَلائِكَةِ مُنْزَلينَ ﴾
[14]. ﴿ ٱللهُ الَّذي خَلَقَ سَبْعَ سَماواتٍ وَ مِنَ
الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا ﴾
[17]. ﴿وَما كُنْتَ تَتْلُوا مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتابٍ
وَلا تَخُطُّهُ بِيَمينِكَ إِذاً لاَرْتابَ الْمُبْطِلُونَ﴾
[19]. ﴿وَما هذِهِ الْحَياةُ الدُّنْيا إِلاَّ لَهْوٌ وَ
لَعِبٌ وَ إِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوانُ لَوْ كانُوا يَعْلَمُونَ﴾
[20]. Banu Isfahani Sayidah Nusrat Amin,
Makhzan al-Irfân dar Tafsir Qur'ân, jil. 1, hal. 15-17, Nasyir: Nehzat Zanan
Musalman, Teheran, 1361 S.
[22]. (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya
disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari
sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu." (Qs. Al-Hud [11]:1)
[23]. Dalam hal ini silahkan lihat, Murtadha
Muthahhari, Asyanai ba Qur'an, jil. 5, hal. 101-105. Muhammad Husain
Thabathabai, Al-Mizan (terjemahan Persia), jil. 20, hal. 559-569.
[25]. ﴿وَ إِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُونَ عَظيمٌ.
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَريمٌ. في كِتابٍ مَكْنُونٍ لا يَمَسُّهُ إِلاَّ
الْمُطَهَّرُونَ ﴾
[26]. ﴿ وَ إِنَّهُ لَتَنْزيلُ رَبِّ الْعالَمينَ . نَزَلَ
بِهِ الرُّوحُ الْأَمينُ. عَلى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرينَ ﴾
[27]. Tayib Sayid Abdulhusein, Atyab
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 13, hal. 177, jil. 1, hal. 68-70. Diadaptasi
dari jawaban 3234 (site: 4076), Tingkatan Pewahyuan.
[28]. ﴿ وَ قالَ الَّذينَ كَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ
عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً واحِدَةً كَذلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤادَكَ وَ
رَتَّلْناهُ تَرْتيلاً﴾
[29]. ﴿إِنَّا جَعَلْناهُ قُرْآناً عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ. وَ إِنَّهُ في أُمِّ الْكِتابِ لَدَيْنا لَعَلِيٌّ حَكيمٌ ﴾
[35]. Asrar Mustafa, Dânestanihaye Qur'ân,
hal. 28. Shadiq Hasan Zadeh, Kelid-e Qur'ân, hal. 134. Diadaptasi dari jawaban
1607 (Site 1609), Ayat Demi Ayat al-Qur'an.
No comments:
Post a Comment