Saturday, July 4, 2015

Nuzul Al-Qur’an
Makna nuzûl al-Qur’an dan hikmah mengapa al-Qur’an diwahyukan secara berangsur-angsur? Apa makna nuzul al-Qur’an? Bagaimana tingkatan nuzul al-Qur’an itu? Apa yang menjadi hikmah mengapa al-Qur’an diwahyukan secara berangsur?
1.     Derivasi kata nuzûl bermakna turun, sebagaimana hal ini disebutkan dalam Mufradat, Misbah dan Aqrab. Raghib Isfahani menyebutkan demikian, “al- nuzûl fil ashl: huwa intihatu min ‘ulu.” Tentang hujan disebutkan “Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?"(Qs. Al-Waqi’ah [56]:69)
2.     Tingkatan dan derajat pewahyuan dan nuzul al-Qur’an: Sebagaimana segala sesuatu memiliki empat hal dan jenis wujud. Wujud lisan (lafzi), wujud tulisan (kitabi), wujud mental (dzihn) dan wujud luaran (ain), wahyu juga demikian adanya memiliki empat jenis wujud.
a.      Wujud tulisan (kitabi) al-Qur’an adalah yang lahir dan tampak.
b.      Wujud lisan (lafzi) adalah bacaan para pembaca yang dipelajari dari para maksum dan malaikat kepada masyarakat umum.
c.       Wujud mental (dzihn) dan ilmiah al-Qur’an terbagi dua: Sebuah wujud pada lauh nafs, sebuah wujud yang turun dari alam amr (perintah) kepada Rasulullah Saw sesuai dengan perintah Allah Swt. Atau makna-makna ghaib tatkala dibaca yang disampaikan ke hati pembaca;
d.      Wujud luaran ('ain) al-Qur’an secara global (ijmal) dimana keaslian al-Qur’an dan hakikatnya bersumber dari Allah Swt.
3.     Hikmah mengapa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur: Hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur dan periodikal serta pemisah-misahan al-Qur’an, supaya antara ilmu dan amal terhadap al-Qur'an bergerak seriiring-sejalan dengan sempurnannya potensi manusia dalam menerimanya. Dengan kata lain, turunnya ayat-ayat al-Qur’an secara berangsur-angsur dan surah demi surah, ayat demi ayat, adalah dimaksudkan supaya potensi manusia matang dan sempurna dalam menerima maarif asli, keyakinan, hukum-hukum partikulir, dan pengamalan terhadapnya. Hal ini disesuaikan dengan tuntutan kemaslahatan manusia dimana hal itu adalah ilmu Qur’an dan pengamalan terhadapnya dapat berjalan seiring-sejalan. Dan juga supaya tabiat manusia tidak terusik dalam mengambil maarif dan ahkamnya. Demikian juga, supaya maarifnya dapat dipahami dan dicerap sehingga tidak terjerumus sebagaimana nasib Taurat karena diturunkan sekali sehingga kaum Yahudi menolak menerimanya. Sedemikian sehingga sekiranya Tuhan tidak menggantungkan gunung pada leher mereka, mereka tidak akan menerimanya

No comments:

Post a Comment