Tuesday, June 30, 2015

PRINSIP EKONOMI ISLAM

  1. Kejujuran (amanah)
       Kata al-amanah, yang secara etimologis berarti “jujur dan lurus”. Secara terminologis syar’i, “sesuatu yang harus dijaga dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya” (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2006).

      Dengan demikian kejujuran (al-amanah) di sini ialah suatu sifat dan sikap yang setia, tulus hati, dan jujur dalam melaksanakan sesuatu yang dipercayakan kepadanya, baik berupa harta benda, rahasia maupun tugas kewajiban. Pelaksanaan amanat dengan baik dapat disebut ”al-amin” yang berarti: yang dapat dipercaya, yang jujur, yang setia, yang aman.

Kewajiban memiliki sifat kejujuran ini ditegaskan Allah dalam al-Qur’an:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Al-Nisa’/4:58).

      Dalam konteks sekarang, salah satu bentuk penyalahgunaan amanat adalah perilaku KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Ketiganya sangat berpotensi mengabaikan prinsip profesionalisme dan integritas moral. Adapun metode penyampaian amanah terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

      Dalam al-Quran terdapat beberapa makna tentang amanah menjadi tiga macam:
(1)    Amanah hamba kepada Allah, yaitu janji untuk taat, menggunakan nurani dan anggota badannya untuk hal-hal bermanfaat. Dalam hal ini semua perbuatan maksiat adalah pengkhianatan terhadap Allah.
  QS. Al-Anfal:27;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu, mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.

(2)    Amanah hamba kepada sesamanya, yaitu menjaga sesuatu yang diterima dan menyampaikannya kepada yang berhak menerimanya. QS. Al-Nisa’:58

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

(3)    Amanah hamba kepada dirinya sendiri. QS: al-Baqarah/2:283;

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانُُ مَّقْبُوضَةُُ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمُُ قَلْبُهُ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمُُ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperolah seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
  
2. Keadilan (‘Adalah)

Adil memiliki makna, meletakan sesuatu pada tempatnya; menempatkan secara proporsional; perlakuan setara atau seimbang. Dalam al-Qur`an kata-kata adil sering di kontradiktifkan dengan makna dzulm (dzalim) dan itsm (dosa). Adapun makna keadilan disisi lain sering diartikan sebagaisikap yang selalu menggunakan ukuran sama, bukan ukuran ganda. Dan sikap ini yang membentuk seseorang untuk tidak berpihak pada salah satu yang berselisih. Menurut Al-Ashfahani “adil”, dinyatakan sebagai memperlakukan orang lain setara dengan perlakuan terhadap diri sendiri. Dimana ia berhak mengambil semua yang menjadi haknya, dan atau memberi semua yang menjadi hak orang lain. (Quraish Shihab, 2002)

    Amanah adalah sumber keadilan, dan keadilan adalah sumber keamanan dan kebahagiaan. (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2006, ibid.). Maka setelah Allah menyuruh manusia menyampaikan amanah, kemudian Ia memerintahkan manusia agar menegakkan keadilan (QS.al-Nisa’:58).

    Sifat dan sikap adil ada dua macam. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang behubungan dengan kemasyarakatan dan pemerintahan.
Adil perseorangan ialah tindakan memberi hak kepada yang mempunyai hak. Bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya, itulah yang dinamakan tindakan adil.

    Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum orang yang jahat sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakkan necara keadilannya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil. Jika ia berat sebelah maka dipandanglah ia dzalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa (QS. 5:8).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ للهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ {8}
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmuterhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan.
  
3. Keseimbangan (al-Wustho)
Konsep keseimbangan menjadi konsep lanjutan yang memiliki benang merah dengan konsep keadilan. Allah menggambarkan posisinya dengan kondisi dimana bila terjadi ketimpangan dalam kehidupan berekonomi, maka hendaknya dikembalikan pada posisi semula. Posisi yang tuju adalah keseimbangan, pertengahan, keadilan.

Beberapa landasan yang mendukung prinsip ini diantaranya:

أَلاَّ تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانَ {8} وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلاَتُخْسِرُوا الْمِيزَانَ {9}
Artinya: “Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. (QS. 55:8). Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (QS. 55:9)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا…
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….

Keseimbangan adalah tidak berat sebelah, baik itu usaha-usaha kita sebagai individu yang terkait dengan keduniaan dan keakhiratan, maupun yang terkait dengan kepentingan diri dan orang lain, tentang hak dan kewajiban. Sebagaimana Allah menyebutnya dalam QS. 2:201 dan QS. 25:67

وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
Artinya: “Dan di antara mereka ada orang yang berdo’a:”Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. 2:201)

وَالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا {67}

Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS. 25:67)
    Konsep keseimbangan ini juga berdasar pada rasa keadilan yang didukung dengan suatu tingkat kebaikan (ihsan) dalam pemenuhan hak seseorang. Bila rasa Adil adalah mengambil apa yang menjadi haknya dan memberikan apa yang menjadi hak orang lain, maka Ihsan adalah memberi lebih banyak dan mengambil lebih sedikit dari apa yang menjadi haknya (Murasa S, 2004). Dalam Islam, konsep ini tidak hanya menjadi prinsip dasar manusia sebagai acuan dalam berbagai kegiatan ekonominya, tetapi juga manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga keseimbangan yang telah tercipta sebelumnya.



4. Kebenaran (al-Shidqah) 
Kebenaran (al-Shidqah) ialah berlaku benar, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2006, ibid.). Kewajiban bersifat dan bersikap benar ini diperintahkan dalam al-Qur’an:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِين
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” (QS. Al-Taubah/9:119).

   Sikap benar ini adalah salah satu yang menentukan status dan kemajuan perseorangan dan masyarakat. Menegakkan prinsip kebenaran adalah salah satu sendi kemaslahatan dalam hubungan antara manusia dengan manusia dan antara satu golongan dengan golongan lainnya.

    Dalam peribahasa sering disebutkan, ”Berani karena benar, takut karena salah”. Betapa kebenaran itu menimbulkan ketenangan yang dengannya melahirkan keberanian. RasulullahShallallâhu ’Alaihi wa Sallam telah memberikan contoh betapa beraninya berjuang karena beliau berjalan di atas prinsip-prinsip kebenaran.

5. Tolong Menolong (Ta’awun)
Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam lainnya yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar pembangunan masyarakat adalah mewujudkan kerjasama umat manusia menuju terciptanya masyarakat sejahtera lahir batin (M. Yunan Yusuf, dkk, 1995:4).

Al-Qur’an mengajarkan agar manusia tolong menolong (ta’awun) dalam kebajikan dan taqwa, jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran:

……….وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ…..
“…..Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….” (QS. al-Maidah/5:2).

     Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip kerjasama dalam ekonomi Islam adalah keniscayaan. Umat manusia menginginkan ketersalingan (mutualism) akan rasa tolong menolong (ta’awun) terutama yang terkait dengan kehidupan ekonomi, tetapi dengan syarat tidak boleh tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.



6. Kebersamaan dan Persamaan (Ukhuwwah)
Prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam selanjutnya yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar pembangunan masyarakat adalah memupuk rasa persamaan derajat, persatuan, dan kekeluargaan diantara manusia (M. Yunan Yusuf, dkk, 1995:4).

Al-Qur’an mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia dari keturunan yang sama:

يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. al-Hujurat/49:13)

     Dari ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa Islam mengajarkan bahwa umat manusia adalah keluarga besar kemanusiaan, karena berasal dari satu keturunan. Kasih sayang satu sama lain akan menjunjung tinggi nilai kehormatan manusia, memupuk rasa persamaan derajat, persatuan, dan kekeluargaan manusia. Di hadapan Allah, semua manusia adalah sama, yang membedakan hanya kualitas taqwanya. Bahwa perbedaan ada, bukan untuk dijadikan kesenjangan (gap), tapi justru untuk mencapai keseimbangan atau keselarasan. Misalnya saja, adanya gradasi (hirarki) ekonomi menurut Islam. Hal ini merupakan Sunnatulah (hukum alam), merupakan bagian kadar-kadar yang ditentukan Allah. Adapun “kesenjangan” adalah lawan dari Sunnatullah (dibuat atas keserakahan sebagian manusia), yang justru merusak keseimbangan.


7. Kebebasan (Freewill)
     Secara umum makna kebebasan dalam ekonomi, dapat melahirkan dua pengertian yang luas, yakni; kreatif dan kompetitif. Dengan kreatifitas, seseorang bisa mengeluarkan ide-ide, bisa mengekplorasi dan mengekspresikan potensi yang ada dalam diri dan ekonominya untuk menghasilkan sesuatu. Sedangkan dengan kemampuan kompetisi, seseorang boleh berjuang mempertahankan, memperluas dan menambah lebih banyak apa yang diinginkannya.

     Dalam ekonomi Islam, makna kebebasan adalah memperjuangkan apa yang menjadi haknya dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya sesuai perintah syara’.
Sebagaimana konsep kepemilikan, konsep kebebasan dalam berekonomi menurut Islam, tidak boleh keluar dari aturan-aturan syari’at. Bahwa manusia diberi keluasan dan keleluasaan oleh Allah untuk berusaha mencari rizki Allah pada segala bidang, ya. Namun tetap pada koridor usaha yang tidak melanggar aturan –Nya. Firman Allah swt:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {10} وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا قُلْ مَاعِندَ اللهِ خَيْرُُ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ {11}
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. 62:10)Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah:”Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik Pemberi rezki. (QS. 62:11)

Kebebasan ekonomi Islam adalah kebebasan berakhlaq. Berakhlaq dalam berkonsumsi, berproduksi dan berdistribusi. Dengan kebebasan berkreasi dan berkompetisi akan melahirkan produktifitas dalam ekonomi. Dengan dasar ayat diatas juga, Islam menyarankan manusia untuk produktif. Kegiatan produksi adalah bagian penting dalam perekonomian.

No comments:

Post a Comment