Tuesday, June 30, 2015

STRATEGI RASULULLAH MEMBANGUN PEREKONOMIAN MADINAH

A. Pendahuluan
Sejak manusia ada di muka bumi, maka sejak itu pula munculnya aktivitas-aktivitas di dalam kehidupan manusia. Pada awal sejarahnya, aktivitas manusia hanya tertuju pada bagaimana caranya kebutuhan primer dapat dipenuhi dalam rangka mempertahankan hidup. Dengan kata lain, aktivitas ekonomilah yang pertama kali ada di dalam kehidupan manusia. Namun seiring dengan berjalanya waktu, aktivitas manusia berkembang sejalan dengan tuntutan zaman dengan segala ragamnya.
Dengan dasar sejarah di atas, maka M. Akram Khan seorang pakar ekonomi dari Pakistan sebagaimana dikutip oleh Nur kholis, mengatakan bahwa ilmu ekonomi bertujuan mempelajari kesejahteraan manusia (falah) yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi.[1] Oleh sebab itu, aktivitas ekonomi merupakan bagian dari kehidupan manusia. Setiap perilaku manusia didorong dari keinginannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh karena itu, ketika berbicara ekonomi, maka sama halnya kita berbicara hal yang klasik substanstif. Namun karena adanya perkembangan, maka disetiap masa dan zaman memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan kebutuhan manusia.
Tidak terlepas dari itu, Islam yang awal kejayaannya di masa Rasulullah SAW juga memiliki konsep sistem ekonomi yang patut dijadikan bahan pelajaran dan acuan. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dijelaskan aktivitas ekonomi bangsa Arab pra-Islam sebagai komparasi dengan aktivitas ekonomi yang telah “diluruskan” oleh Rasulullah, yang meliputi strategi awal membangun perkonomian Madinah, kebijakan fiskal, yang diterapkan oleh Rasulullah SAW.

B. Kondisi Perekonomian Bangsa Arab Pra-Islam
Leboun dalam bukunya Hadharat al-Arab berkesimpulan bahwa tidak mungkin bangsa Arab tidak pernah memiliki peradaban yang tinggi, apalagi hubungan dagang multilateral berlangsung 2000 tahun lamanya.[2] Bangsa Arab bukanlah bangsa bodoh yang senada dengan gelar “Jahiliah” yang mereka sandang. Tapi dibalik gelar itu, justru mereka telah menyimpan peradaban dan menyisakan berbagai aspek kemajuan politik, ekonomi dan seni budaya.[3] Gelar Jahiliah hanyalah sebatas kesalahpahaman akidah mereka, sehingga merambat pada perilaku nista yang merajalela di dalam aspek kehidupan dan pola pikir mereka .[4]
Namun demikian harus diakui, bangsa Arab adalah bangsa yang mempunyai tampuk peradaban dan kemajuan. Bendungan raksasa Maarib warisan dari kerajaan Saba’ dan kerajaan Himyar di Yaman, bagian selatan jazirah Arab adalah bukti nyata, dimana sangat memberikan pengaruh yang sangat besar, selain sebagai sumber air untuk wilayah kerajaan, juga memberikan kesejahteraan  bagi masyarakat,[5] terutama pada sektor pertanian.
Pertanian salah satu pondasi penting perekonomian bangsa Arab kala itu, sejak 200 tahun sebelum kenabian Muhammad, mereka mengenal peralatan pertanian semi modern seperti alat bajak, cangkul, garu, dan tongkat kayu untuk menanam.[6]
Abdul Karim dalam bukunya Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, mengklasifikasi sistem pertanian bangsa Arab ke dalam tiga sistem, antara lain : sistem Ijarah (sewa-menyewa), sistem bagi hasil produk (muzara’ah),[7] dan sistem pendego (mudharabah).[8]
Di samping itu, perdagangan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas perekonomian bangsa Arab pra-Islam. Pada masa pemerintahan Saba’, bangsa Arab menjadi penghubung perdagangan antara Eropa dan dunia Timur. Setelah itu dilanjutkan dengan pemerintahan Himyar yang terkenal dengan kekuatan armada niaga yang menjelajahi Asia Selatan (India), China, Somalia dan Sumatera (Nusantara).[9]
Kemajuan perdagangan lintas negara kala itu pada awalnya dimungkinkan oleh sektor pertanian yang telah maju. Kemajuan tersebut ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan  ekonomi makro sektor ekspor-impor.[10]
Setelah kerajaan Himyar jatuh, jalur-jalur perdagangan didominasi oleh kerajaan Persia dan Romawi. Pusat perdagangan bangsa Arab serentak kemudian beralih ke Makkah.[11] Karena letaknya geografisnya yang amat strategis, Makkah menjadi tempat persinggahan para kafilah dagang yang datang dan pergi menuju ke kota pusat perniagaan. Di Makkah telah tersedia pasar-pasar sebagai tempat pertukaran barang-barang antar para saudagar dari Asia Tengah, Syam, Yaman, Mesir, India, Irak, Etiopia, Persia dan Romawi.[12]
Mengingat posisi Makkah berada di suatu lembah yang tandus, maka yang menjadi sumber perekonomiannya adalah perdagangan. Seiring dengan berjalannya waktu, perdagangan menjadi faktor penentu utama hubungan sosial penduduk kota Makkah. Makkah disebut sebagai Ummul Quro, yaitu sebuah pusat perniagaan besar yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat Makkah. Pembangunan sektor spritual, keagamaan, dan kebudayaan dibangun di atas prinsip bisnis, jual beli, dan untung rugi.
Karena itu, saudagar kaya menjadi orang-orang yang sangat menentukan sekali dalam berbagai hal.[13] Dari merekalah aturan-aturan hukum dan tradisi yang berlaku dikeluarkan. Dari sinilah muncul ketidakadilan, ketimpangan, kerakusan untuk meraup untung sebanyak-banyaknya, yang pada gilirannya menjadikan kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin.
Musim haji adalah musim perdagangan yang paling ramai. Pada saat itulah dibuka pasar-pasar Arab yang terkenal, seperti Ukaz, Dzil-Majaz, Majinnah dan lain-lainnya.[14] Di antara pasar terbesar adalah pasar Ukaz. Ukaz adalah sebuah tempat perbelanjaan terlengkap yang tidak hanya dikunjungi oleh orang-orang Quraisy, tetapi juga raja-raja dan pangeran dari seluruh semenanjung Arab ikut pula menghadiri pasar Ukaz. Di Ukaz terdapat mimbar khusus sebagai tempat adu kepiawaian para penyair Arab.
Di Ukaz terdapat pula tempat penjualan budak-budak dari beraneka ragam ras, seperti budak Etiopia yang hitam, budak Rum yang putih, budak Persia, dan banyak lagi yang berasal dari India, Mesir dan Asia Tengah.[15] Dengan demikian Ukaz menjadi lapangan empuk untuk mengeruk keuntungan  dari kalangan rakyat jelata.
Berdasarkan kesimpulan Ahmad Amin bahwa apa yang berkembang di Makkah waktu itu merupakan pengaruh dari budaya bangsa-bangsa sekitarnya yang lebih awal maju daripada kebudayaan dan peradaban Arab. Pengaruh tersebut masuk ke jazirah Arab melalui beberapa jalur; yang terpenting di antaranya adalah : (1) melalui hubungan dagang dengan bangsa lain, (2) melalui kerajaan-kerajaan protektorat di Hirah dan Ghassan, dan (3) masuknya misi Yahudi dan Kristen.[16]
Tentang perindustrian dan kerajinan, mereka adalah bangsa yang paling tidak mengenalnya. Kebanyakan hasil kerajinan yang ada di Arab, seperti jahit-menjahit, menyamak kulit dan lain-lainnya berasal dari rakyat Yaman, Hirah dan pinggiran Syam. Sedangkan wanita-wanita Arab cukup menangani pemintalan. Tetapi kekayaan-kekayaan yang dimiliki bisa mengundang pecahnya peperangan. Kemiskinan, kelaparan dan orang-orang yang telanjang merupakan pemandangan yang biasa ditengah masyarakat.[17]

C. Strategi  Rasulullah Membangun Ekonomi Madinah
Makna hijrah bukan sekadar upaya melepaskan diri dari cobaan dan cemoohan semata, tetapi  disamping makna itu hijrah juga dimaksudkan sebagai batu loncatan untuk mendirikan sebuah masyarakat baru di negeri yang aman. Itulah mengapa Rasulullah mewajibkan seluruh muslim yang di Makkah pada saat itu untuk melakukan hijrah bagi yang tak berhalangan,[18] agar ikut andil dalam usaha mendirikan masyarakat baru dalam rangka menggalang kekuatan dan mengerahkan segala kemampuan untuk menjaga dan menegakknya.[19]
Sebagai pemimpin, Rasulullah telah mengantongi langkah-langkah perencanaan untuk memulai intensifikasi pembangunan masyakarakat. Maka dibangunlah sebuah masjid sebagai lokomotif pembangunan. Eksistensi substansi masjid bukanlah sesuatu yang di dasarkan kepada idealisme semata, yang hanya difungsikan sebagai tempat beribadah saja, tetapi memiliki multifungsi, di antaranya sebagai tempat jual beli,[20] karena ini merupakan tuntutan realitas keadaan masyarakat waktu itu yang memerlukan struktur perkonomian yang baru, karena struktur perekonomian yang ada dikuasai dan dimonopoli sepenuhnya oleh orang–orang Yahudi dan diatur sepenuhnya oleh sistem kapitalis Yahudi.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, dipindahkanlah aktivitas jual beli dari lingkungan masjid demi menjaga kekhusyuan beribadah.[21] Aktivitas jual beli ini difokuskan di pasar yang diberi nama “Suqul Anshar“ atau pasar Anshar. Pasar ini dibangun oleh Abdurrahman bin Auf, seorang hartawan yang kaya raya, atas arahan Rasulullah. Pasar ini dikelola seratus persen oleh umat Islam sendiri berlokasi tidak jauh dari pasar Yahudi. Semua orang Islam dihimbau untuk berjual beli dan melakukan semua aktivitas perdagangan di pasar itu tanpa bekerjasama sedikitpun dengan Yahudi dan tanpa terlibat dengan segala produk atau barang mereka.[22]
Dari penjelasan di atas, nampak bahwa Rasulullah telah menerapkan pola bisnis dengan persaingan yang sehat, tanpa menggunakan wewenang kekuasaannya untuk menutup pasar Yahudi, mengingat kedudukan Rasulullah pada saat itu adalah seorang pemimpin, tapi justru Rasulullah sepenuhnya menyerahkan penilaiannya kepada masyarakat. Dan pada akhirnya ekonomi Yahudi yang sudah ratusan tahun, gulung tikar dan bangkrut bahkan mereka menjadi miskin dan akhirnya menutup pasar mereka.
Selain itu, ukhuwwah islamiyah, persaudaraan sesama muslim, antara golongan Muhajirin dan golongan Anshor sangat ditekankan oleh Rasulullah. Rasulullah sangat menyadari bahwa kebersamaan, kekeluargaan dan persaudaraan merupakan salah satu prasyarat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan hanya berfaedah bagi kekuatan secara politik saja, tetapi juga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Dari sini terlihat bahwa pemikiran ekonomi Rasulullah orientasi substanstifnya adalah ”kepada kepentingan bersama masyarakatlah yang diutamakan”. Bahkan untuk tercapainya arah dan tujuan dimaksud, Rasulullah sangat menekankan terciptanya ”efesiensi sosial”. Artinya bagaimana ekonomi negara bisa dikelola secara bersama dengan baik dan ketepat-gunaan yang tinggi sehingga kemakmuran dan kesejahteraan dalam arti yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam pandangan ekonomi Rasulullah adalah sangat dikedepankan. Implikasi dari pandangan ini adalah perintah Rasullah untuk saling tolong-menolong antar sesama dalam segala aktivitas kehidupan, terutama dalam tatanan ekonomi. Hak warisan harta ditinggalkan atas dasar saudara seagama, tanah kepunyaan Ansar digarap bersama sama dengan Muhajirin.[23]
Sehingga pada saat itu, dengan sistem al-Muzara’ah, al-Mu’ajarah, yang diterapkan di atas prinsipat-ta’awun,[24] Madinah menjadi kaya dengan produksi dari hasil tanaman gandum, sayur-sayuran, buah-buahan dan juga barli. Tidak hanya itu, kota ini juga adalah pengeluar terbesar buah kurma atau tamar terutama menjelang musim kemarau.[25] Daripada penghasilan ini saja, kota Madinah dapat memainkan peranan penting dalam perekonomian di kawasan sekitarnya.[26]
Inilah makna efisiensi sosial atau ”efisiensi berkadilan”, karena memang dalam pandangan Rasulullah manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial, itulah yang harus diutamakan, bukanlah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Pandangan ini sudah barang tentu berangkat dari nilai-nilai qur’ani yang menghormati sesama manusia dan menekankan masalah ukhuwah/ persaudaraan (Qs. Al-Hujarat : 10), ta’awun/ tolong menolong/ kebersamaan (Qs. Al-Maidah : 3).
Di samping itu, kebijaksanaan Rasulullah dalam bidang ekonomi juga terlihat ketika Rasulullah tidak serta merta membebankan, ushr,[27] dan jizyah bagi non-muslim pada saat pondasi masyarakat belum begitu kokoh. Tapi ketika masyarakat Madinah memiliki pondasi yang kuat dan menampakkan embrio kekuatan, baik di bidang politik maupun ekonomi, barulah Rasulullah  merancang sistem pemerintahan yang ditandai dengan disepakatinya Piagam Madinah.[28]
Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam semakin kuat, dan perkembangannya yang pesat membuat orang-orang Makkah merasa Risau. Kerisauan ini akan mendorong orang Quraisy bertindak apa saja. Di satu sisi, Madinah hampir tidak memiliki pemasukan atau pendapatan negara.[29] Untuk menghadapi kemungkinan itu, maka Rasulullah menggalang kekuatan berupa pembentukan militer dan juga menganjurkan zakat yang sifatnya sukarela dalam rangka membantu mempertahankan diri dari serangan musuh.
Pada tahun ketujuh Hijriyah, kaum muslimin berhasil menaklukan Khaibar. Tanah hasil taklukan dikelola dengan menerapkan sistem kharaj, yakni pajak tanah yang dipungut dari non-Muslim. Dan sistem ini diterapkan di berbagai daerah taklukan, dan dalam perkembangannya, kharaj menjadi salah satu sumber pendapatan negara terpenting.[30]
Dalam masa pemerintahannya juga, Rasulullah menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya ahli kitab, sebagai perlindungan jiwa, harta milik, kebebesan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer.[31]
D. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa aktitivitas ekonomi bangsa Arab pra-Islam telah menjadi pusat dunia atau sebagai World Trade Center, baik di bagian selatan jazirah Arab (Yaman) yang dikelola oleh kerajaan Saba’ dan pemerintah Himyar dengan sektor pertanian yang dominan karena memiliki tanah yang subur dan didukung dengan adanya bendungan raksasa Maarib, maupun di bagian utara Arab, Hijaz (Makkah) yang dipengaruhi oleh pihak luar seperti Persia dan Romawi, dengan sektor perdagangan yang terunggul, karena memang wilayahnya tandus dan gersang, tapi letak geografisnya stratgis sebagai tempat persinggahan para kafilah.
Adapun karakteristik perekonomian masa Rasulullah adalah sosialis-religius yang menekankan partisipasi kerja kooperatif yang diberlakukan  bagi kaum Muhajirin dan Anshar yang menyebabkan meningkatnya distribusi pendapatan dan kesejahteraan. Dari sinilah terlihat konsep demokrasi ekonomi Rasulullah yang tidak harus diartikan sebagai berlakunya prinsip equal treatment(perlakuan sama), karena menurut Rasulullah orang yang tidak berpunya perlu memperoleh pemihakan dan bantuan yang berbeda (partial treatment). Pada prinsipnya Rasulullah sangat mengutamakan tercapainya kesejahteraan bersama.

No comments:

Post a Comment